Total Tayangan Halaman

Mas's Great Big Family

Mas's Great Big Family

Kamis, 28 Juli 2011

TRAGEDI SEPTEMBER 2002

Dulu, 5 september 1995 adalah tanggal dimana seorang ibu mempertaruhkan nyawanya untuk melahirkan seorang bayi. Saat bayi kecil itu lahir, ibu dan ayah dari bayi tersebut sangat senang telah mendapat anugerah terindah bagi mereka. Mereka mulai berdiskusi untuk mencari nama yang tepat untuk bayi kecil tersebut. Akhirnya, mereka menemukan nama yang tepat untuk buah hati itu, yaitu mas ariandi kurniawan. Itulah aku !
Hari demi hari, tak terasa bayi kecil itu telah menjadi lebih besar. Ketika umurku 6 tahun, tepatnya pada tanggal 3 september 2002 menjelang ulang tahunku, ayahku menderita penyakit yang telah didiagnosa sebagai rematik yang telah menyerang seluruh sendi dan tulang pada tubuh. Akan tetapi, ditemukannya lagi penyakit lain, yaitu komplikasi obat-obatan yang terlalu banyak dikonsumsi dengan jenis yang berbeda-beda. Hal itu menyebabkan rusak dan tidak berfungsinya hati dikarenakan pecahnya empedu sehingga tak ada lagi organ yang menawar racun dan racun-racun tersebar ke seluruh bagian tubuh. Penyakit tersebut ditemukan oleh seorang dokter di rumah sakit soedarso pontianak.
Pada tanggal 4 september 2002, saat aku terbangun pagi-pagi dari tidurku, tubuhku tersentak dan tiba-tiba berkata “apa itu ?”. Ternyata, ada sebuah selang yang dimasukkan melalui lubang hidung ayahku guna untuk mengeluarkan racun yang tak tertampung lagi oleh tubuh ayahku. Terlihat cairan hijau yang tercampur dengan kotoran-kotoran hitam dari sisi ampas obat-obatan dan jamu-jamuan yang tak dapat lagi dinetralisir oleh hati ayahku. Ku melihat betapa tegarnya ibuku dalam menghadapi kepedihan ini. Beliau bertahan dan memberi semangat kepada pria yang ia cintai yang tergeletak tak berdaya dihadapannya untuk bertahan hidup demi keutuhan keluarga kami. Ayahku tersenyum dan masih berusaha untuk bercanda kepada kami anaknya walau ia merasa sakit yang aku sendiri tak bisa untuk membayangkannya.
“hore …!!!”, hari yang kunanti-nantikan, yakni tanggal 5 september 2002, hari ulang tahunku yang ke-7 yang hendak kurayakan di rumah sakit soedarso itu bersama ayah, ibu, kakak laki-laki, dan kakak perempuanku, dan tentunya bersama pasien lain disana.
“hei, hari ini ulang tahun kamu kan ?“ tanya ayahku.
“ya, boleh aku merayakannya ?“ tanyaku padanya.
“boleh, tapi tidak hari ini tepatnya, sebaiknya hari minggu saja tanggal 8“ ayahku menyarankan demikian.
“kenapa harus minggu ?!“ aku meronta-ronta dan tetap menginginkan hari itu.
Lalu dengan suara yang sendu, ia berkata “hari minggu selain hari libur, ada kado spesial pada hari tersebut, serta semua keluarga akan datang kesini“
Tapi dengan anehnya, aku percaya dan menunggu lagi kedatangan hari minggu untuk perayaan ulang tahunku.
Pada hari selanjutnya, tanggal 6 sepetember 2002, dokter terus menerus melakukan pemeriksaan keadaan ayahku yang semakin memburuk, namun ayahku tetap berjuang untuk bertahan dari rintihan tangis agar tetap terlihat tegar di depan istri dan anaknya. Ayahku mulai tak ingin menatap ibuku dan anaknya, mungkin ia tak sanggup melihat rautan kesedihan pada kami.
Keesokan harinya, ayah semakin menampakkan perubahan sikapnya dengan tak ingin menatap wajah ibuku dan anaknya walau sedang bicara, melainkan arah dinding yang ia lihat. Ibuku teringat omongan dari teman-temannya tentang apabila seseorang yang mengalami sakit keras tak mau melihat mata dan wajah orang lain, itu adalah tanda-tanda kepergian olehnya. Apalagi jika pada saat orang yang sakit menatap dinding dan membuat tulisan dengan menggunakan jari, maka tanda itu semakin kuat. Tapi saat itu, ayahku tak melakukan penulisan pada dinding.
Pada malam hari tanggal 7 september 2002, ada seorang bapak-bapak yang juga dianggap sebagai ayah angkat oleh ayahku datang menjengguk bersama istrinya. Ayah angkat ayahku itu kerap dipanggil dengan panggilan mbah nardi. Mbah nardi datang dan ingin sekali memeluk ayahku. Pada saat itu, ibuku berdiri disamping pasien lain yang berada dikamar ayahku. Pasien itu sedang tertidur. Mbah nardi mengira pasien itu adalah ayahku, tiba-tiba “ha..ha..ha..ha..ha..ha..!!!“ terucap nada tertawa dari mulut kakak-kakakku dan tentunya juga aku. Ternyata mbah nardi salah peluk orang, yang dipeluknya bukan lah ayahku, melainkan pasien yang sedang tertidur. Tapi anehnya, ayahku yang juga melihat itu semua tidak sedikit pun mengukir senyuman di wajahnya. Saat mbah nardi mengajaknya bicara, ayahku menghadap ke arah dinding dan ketakutan terjadi, ayahku menggerakkan jarinya dan membuat tulisan-tulisan. Dengan tersentak ibuku bergumam dalam hati “ya allah ya tuhanku, janganlah engkau membuat mitos itu jadi kenyataan“. Saat mbah nardi pulang, ibuku bertanya kepada ayahku apakah ia baik-baik saja. Ayah berkata dengan pelan nan syahdu “semua akan baik-baik saja“.
Minggu, 8 september 2002, hari yang dijanjikan ayahku untuk perayaan ulang tahunku. Saat aku bangun, aku disuruh ibuku untuk pulang ke rumah kakakku yang di pontianak untuk mandi dan berpakaian rapi. Saat aku tiba lagi di rumah sakit, dari kejauhan aku melihat kakak laki-lakiku duduk dengan menundukkan kepalanya sambil menangis didepan pintu kamar, tempat ayahku dirawat.
“ada apa, bang ?“ aku bertanya kepada kakak laki-lakiku.
“coba kamu lihat di dalam“ kata kakak laki-lakiku sambil menunjuk ke arah kamar.
Aku terkejut dan bingung, yang kulihat adalah ibuku yang sedang menangis dan sebuah tabung oksigen besar untuk membantu pernapasan ayahku. Tanpa disadari tetesan air mataku turun berlinang di pipiku.
Saat terdengar adzan dzuhur, ayahku yang sebenarnya sulit untuk mengeluarkan suara, memaksakan diri untuk mengumandangkan seruan adzan sebatas suara yang dapat ia keluarkan. Suasana haru itu tak dapat ditahan lagi, air mata kami menetes lebih deras. Setelah selesai mengumandangkan adzan, terucap oleh paman ibuku yang kebetulan juga hadir pada hari itu “innalillahi wainnaillahi raji’un“. Kami merasa tertekan dan tanpa dapat menampung kesedihan itu, tangisan histeris keluar dengan dipacu oleh adrenalin yang kuat. Ibu dan kakak perempuanku menangis tapi tak histeris, serta kakak laki-lakiku menangis dalam diam tanpa suara. Inginku teriak dan berkata kepada allah “ya allah..kembalikan ia, aku tak ingin menjadi anak yatim“.
Kemudian, tiba-tiba semua keluarga dari mempawah datang menjenguk, dan tentunya nenekku, ibu dari ayahku datang. Tapi sayangnya, ia tak dapat melihat anaknya dalam keadaan bernapas untuk yang terakhir kalinya. Nenekku dan keluarga lainnya ikut serta dalam penyumbangan paduan suara tangisan itu. Kami satu per satu memeluknya dan menciumnya untuk yang terakhir, sebelum jasadnya tak dapat lagi kami lihat. Ketika ku menatap wajahnya dan memegang hidungnya, yang dapat kulihat dan kurasakan hanyalah wajah bersih tanpa ekspresi dan tak bernapas.
Ketika jenazah ayahku dibawa pulang ke mempawah, kulihat ribuan orang datang untuk memberikan karangan bunga dan ucapan berduka.
Keesokan harinya, pada tanggal 9 september 2002, pemakaman ayahku dilakukan, aku tak sanggup untuk pergi ke upacara itu.
Sekarang, aku masih bertanya-tanya tentang kado spesial yang akan diberikan oleh ayahku yang masih misterius wujudnya bagiku. Terkadang aku berpikir “mungkinkah hadiah itu adalah tetesan air mata dan bukan ucapan selamat ulang tahun melainkan ucapan belasungkawa pada perayaan ulang tahun kecil-kecilanku itu ?“. Hal itu masih menjadi tanda tanya besar pada diriku.


 THE END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar