Orang bilang suatu keluarga akan kurang dihormati dan
disegani ketika mereka kehilangan seorang sosok suami bagi istri dan ayah bagi
anak-anak. Ketika sang istri terlihat bersama seorang pria walau hanya teman
semata tetapi akan menjadi buah bibir di lingkungan sekitar. Ketika sang anak
berkelahi, tak ada yang dapat disegani tuk membantu menyelesaikan masalahnya.
Seperti halnya seekor burung yang berusaha terbang tanpa satu sayap. Itulah
yang terjadi pada kehidupanku yang memang tak lagi dapat dikatakan sempurna.
Kadang aku sangat merindukan sosok kasih sayang dari seorang pria gagah yang
dapat kupanggil ayah. Tapi dari sinilah aku mengenal arti sebuah perjuangan
yang dimulai dari titik dimana aku berinjak, kemudian berjalan, dan melangkah
tuk berlari. Tapi ketika kumulai lelah, akankah aku jatuh dan hancur ? dan pada
akhirnya akankah aku mati dalam tangis atau senyum indah di pipiku dan di pipi
orang yang aku tinggalkan ? inilah caraku berjuang untuk mencari jati diriku
dan arah tujuan hidupku serta menjaga kehormatan keluargaku.
Semua orang heran setelah ditinggal oleh Ayah, aku lebih
sering sholat, rajin pergi untuk belajar mengaji, dan senang membersihkan
halaman dan taman bunga yang dulu sering Ayah kerjakan besama aku, tapi tidak
lagi setalah ia pergi. Usiaku masih tergolong anak-anak, sekitar 8 tahun. Dulu beliau
pernah berpesan “jam 5 sore sudah harus mandi dan siap untuk pergi ke surau”,
itulah keseharianku yang menjadi rutinitas saat itu. Tahu kenapa aku lebih
rajin melakukan kegiatan diatas ? karena aku merasa akan lebih dekat dengan
Ayah, apalagi pada saat mengirim al-fatihah untuknya setelah sholat, ketika
itulah aku memejamkan mata dan hanya dapat membayangkan ia akan tersenyum
setelah mendengar itu karena aku berpikir dengan mengirim doa untuknya, aku
telah mengunjunginya yang mungkin sedang kesepian disana. Sampai-sampai istri
dari guru ngajiku bermimpi bahwa beliau melihat di malam gelap gulita nan sunyi
senyap, Ayahku duduk di sebuah Taman bunga. Dalam kesunyian malam, ia duduk di
tengah gelap menyelimutinya dan tiba-tiba aku menghampiri dengan membawa
sebatang lilin yang sangat terang, kemudian duduk di samping sang Ayah dalam
hangat pelukannya. Dan aku juga pernah bermimpi bertemu Ayah, aku ingin sekali
ikut bersamanya, tetapi ia hanya berkata “tetap disini dan jagalah mama”,
kemudian ia hilang dalam sebuah cahaya putih terang menyilaukan.
Rutinitas itu berlangsung bertahun-tahun, kemudian aku
mengenal dunia yang semula asing bagiku..
Di usia remajaku pada saat menginjak bangku SMA, entah
mengapa aku merubah segalanya yang sudah tertanam pada diri ini. Ketika itu aku
mulai tak terkendali dalam bergaul. Dunia yang dulu ku anggap kejam, malah
menjadi duniaku. Aku mulai melanggar peraturan-peraturan yang ada di rumah yang
telah dibuat oleh Ibu dan mendiang Ayah. Aku mulai malas sholat, tak pernah
mengaji lagi, tak minat belajar, pulang sekolah tidak langsung ke rumah dan
kadang sampai sore, tidur jauh malam dan dilanjutin tidur pada saat jam belajar
di kelas, terus keluar setiap malam dan pulang tengah malam bahkan pagi sekitar
pukul 1 atau 2, tidak betah di rumah dan senang tidur di rumah teman, mulai
mencoba tuk have fun sama-sama teman
ke luar kota, dan parahnya lebih milih buat berbohong agar dapat izin
kemana-mana. Hal-hal itu kerap sering kali aku lakukan ketika ibu tak sedang di
rumah karena saat itu, ibu setiap weekend
berangkat untuk melanjutkan kuliah s1-nya. Jadi, aku free bangeeeeet !!
Dan dampaknya, aku menjadi tampak asing di keluarga
karena aku adalah anak terakhir dari 5 bersaudara dan hanya aku yang bertingkah
melebihi batas, prestasi menurun, baik di bidang akademik maupun olahraga, rasa
percaya ibu berkurang, dan yang pasti ibu selalu merasa kurang berhasil
mendidik buah hati terakhirnya yang dititipkan oleh Ayah. Aku mulai berpikir atas
dampak dari perubahan yang telah aku lakukan pada saat aku beranjak ke kelas
XI. Aku ingin untuk dewasa dan mencoba mengerti bahwa hidup ini bukan untuk
hari ini dan besok aja, tapi masih ada hari setelah esok dan hari-hari setelah
itu. Ibu pernah memarahi aku sampai meneteskan air mata, di detik itu jugalah,
aku menangis dan berdoa kepada Tuhan “Ya Allah, jikalau engkau menghendaki
perubahanku untuk membuat ibuku bahagia, tunjukkanlah aku jalannya dan
bimbinglah aku”.
Sejak itu aku berubah untuk membuktikan bahwa aku yang
sekarang tak jauh berbeda dari aku yang dulu. Aku akan tetap begini dan akan
memberikan hasil yang baik dengan caraku, karena aku yakin bahwa itu akan
terjadi dan indah pada waktunya. Disitulah aku berjuang keras, hanya satu malam
yaitu malam minggu dimana aku tak memiliki jadwal bimbingan belajar tapi disela
jdqal padatku, sepulang bimbingan aku selalu mampir ke kafe atau pulangnya
tetap diatas jam 9 dan di sore harinya aku isi dengan kegiatan seperti pramuka,
belajar kelompok, atau cuma diam di rumah. Tapi di mata orang-orang dekatku,
aku takkan bisa berhasil jika tak mengubah pola pikirku.
Dan hasilnya di satu semester adalah sebuah kemenangan !!
aku berhasil memperbaiki akademikku tanpa meninggalkan prestasi ekstrakurikuler.
Itu cukup mengukir senyum pada ibuku dan rasa tak percaya dari
saudara-saudaraku bahwa aku dapat mengembalikan kejayaan prestasi seperti dulu.
I was so happy....
Tapi tidak tahu kenapa, tetap dikatakan aku belum
berhasil oleh orang-orang terdekatku karena aku tak bisa menjadi seperti
saudara-saudaraku. Bukankah setiap orang di muka bumi ini tidak sama ?
Bagaimana jika dengan caraku, aku akan sama dengan mereka
atau bahkan lebih walau kemungkin kurang juga ada ?
Seringkali aku berpikir ingin menjadi seperti yang dulu,
kembali pada aku yang masih anak-anak. Aku yang selalu membanggakan orang-orang
terdekat, aku yang rajin, dan aku yang tak menyimpang, tapi itu sangat sulit
ketika aku harus meninggalkan semua yang sudah membuatku enjoy.
Apa kini aku masih menjadi kebanggaan kalian? Apa aku
masih menjadi penerang bagi Ayah yang sedang kegelapan? Apa aku masih bisa
mengukir senyum indah dan ikhlas pada kalian dalam totalitas raga ini? Apakah kelak
jika aku tak ada lagi, aku dapat meninggalkan senyum pada kalian? Apa aku akan
dirindukan? Atau malah aku hanya akan meninggalkan luka bagi kalian?
Di sisa hidup ini, aku akan memberikan yang terbaik terutama
bagi ibuku yang telah kuat menjadi seorang Ayah dan tegar menjadi seorang Ibu. Tapi
itu semua akan aku lakukan dengan caraku sendiri.
Just keep
your eyes, and watch me now, tomorrow, the day after tomorrow, and the
following days..................
to be continued
written by Mas Ariandi Kurnaiwan